Nama : Sinta Adik Saputri
NIM : 175231006
Kelas : Perbankan Syariah 2A
PONDOK
PESANTREN NURUL QUR’AN
Pondok Pesantren Nurul
Qur’an merupakan pondok pesantren salafiyah yang terletak di Desa Teter,
Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali. Pendirian pondok pesantren ini didirikan
oleh KH. Subur Aditama. S.Pd.I dan Hj.
Siti Amanatun Al-Hafidzah yang merasa
sangat prihatin dengan Desa Simo karena pengetahuan terhadap agama sangat sedikit dan kebanyakan
warganya beragama Kristen. Bahkan disana tidak terdengar sedikitpun suara orang
yang mengaji. Oleh karenanya, Abah (KH. Subur Aditama. S.Pd.I) mengumpulkan
anak-anak dan mendirikan TPA untuk mengaji pada tahun 1990-an. TPA ini dulu
bernama “Pendidikan Al-Qur’an dan Islam Teter.”
Tahun 1995an para santri
mulai berdatangan dan bermukim untuk belajar mengaji. Walaupun awalnya, mereka
tinggal bersama di ndalem keluarga Abah sebab belum adanya asrama. Pada
tahun 2000-an santri yang mondok lama-kelamaan bertambah sedikit demi sedikit. Berkat
perjuangan keras dari pendiri pesantren yang yakin dengan hadits Nabi
SAW “khairukum man ta’allamal qur’an wa‘allamahu” (sebaik-baiknya kami sekalian
adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya) serta dukungan dan antusisme
masyarakat setempat, pondok pesantren diresmikan pada tahun 2005. Dengan nama “Pondok Pesantren Nurul Qur’an” berdasarkan surat akta notaris dan pengesahan dari Kementrian Amaga (Kemenag) Kabupaten
Boyolali.
Aliran yang digunakan
pondok pesantren adalah Nahdatul Ulama (NU). Sehingga kebanyakan santrinya sekolah
dan kuliah di sekolah khusus NU, contohnya di Universitas Nahdatul Ulama Surakarta. Kegiatan yang dilakukan juga sama seperti organisasi NU lainnya. Sehingga
aktivitas seperti ziarah ke makam, tahlilan, yasinan, dan sebagainya masih dilakukan hingga sekarang. Buktinya,
saat sehabis sholat mereka selalu berdzikir, berdoa berdasarkan bacaan-bacaan
orang NU. Mereka juga selalu melestarikan budaya
yang sudah ditanamkan para ulama NU dan dalam mempercayai aliran ini mereka
hanya ingin mendapatkan pahala dari Allah Swt semata walaupun ada yang menganggap
aliran ini salah.
Hafalan Al-Qur’an (Hafidz
Al-Qur’an) merupakan hal yang sangat diunggulkan karena ibu (Hj. Siti Amanatun Al-Hafidzah) lulusan
Hafidz Al-Qur’an. Para santri selalu mengulang hafalannya ini
sebelum dan setelah sholat. Maka dari itu, banyak santri yang rela mengorbankan waktu tidurnya untuk menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an hingga larut malam. Walaupun sebenarnya di pondok ini tidak
menerapkan target untuk menghafal Al-Qur’an. Namun semangat para santri ini sangat
gigih dalam menghafal, maka dari itu beberapa diantara mereka ada yang bisa menghafal 30 juz
Al-Qur’an.
Pendidikan yang digunakan
berdasarkan kurikulum intern dari pondok pesantren, bukan berdasarkan pemerintahan. Pondok pesantren tidak menetapkan
adanya proses administrasi kepada calon santrinya. Bahkan semua santri yang mondok di sini, dibebaskan dari biaya pesantren dan biaya
makan untuk sehari-hari. Waktu pendaftaran untuk para santri juga tidak ditentukan, tidak seperti pendidikan formal pada umumnya. Ketentuan untuk pulang ataupun keluar bagi santri juga diserahkan kepada
santri itu sendiri. Semua orang yang mendaftar langsung diterima apa adanya tanpa ada syarat-syarat
khusus. Oleh sebab itu, pondok pesantren ini sangat memudahkan semua orang yang
ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan cara mondok.
Pondok pesantren yang
terletak di Desa Teter ini khusus untuk anak SMA, kuliah dan yang tidak
sekolah. Santri putra dan putri saat ini berjumlah sekitar 125-130 orang.
Mereka berasal dari dalam dan luar daerah. Contoh santri yang berasal dari luar daerah yaitu berasal dari Sumatera, Kudus, Kediri, Purwodadi, dan masih banyak lagi. Harapan dengan
adanya santri-santri dari luar daerah yaitu saat mereka kembali ke daerah
masing-masing. Pasalnya biasanya para santri akan menyebarkan agama islam
dengan apa yang sudah di pelajari di pondok dengan cara mendirikan pesantren
dan TPQ di daerahnya.
Sikap
sopan santun dari para santri sangat terlihat menonjol. Mereka sangat terbuka
dan ramah kepada orang lain yang baru mereka kenal. Selain
itu mereka tak segan untuk membantu dan menolong orang lain.
Contoh lain yang benar-benar terlihat adalah saat mereka menyambut tamu maupun menyambut orang
yang lebih tua, mereka akan menghampiri mereka dengan cara berjalan memakai
kedua lutut mereka. Bahasa yang digunakan sehari-hari juga bahasa Jawa (karma
alus), hal ini dikarenakan pesantren salafi ini kitab kuningnya berbahasa Jawa.
Di
dekat pondok juga terdapat TPA Nurul
Qur’an. TPA ini dikelola
oleh masyarakat Desa Teter dan digunakan untuk mengaji anak-anak kecil.
Anak-anak ini diajari mengaji oleh santri-santri dari Pondok Pesantren Nurul
Qur’an. Santri yang mengajar disini bersifat turun-temurun, maksudnya jika ada
santri yang pindah pondok maupun menikah akan digantikan oleh santri lain.
Adanya TPA ini bisa menambah ilmu tentang agama Islam kepada masyarakat desa
Teter. Desa Teter yang dulu merupakan desa yang pengetahuan agamanya sedikit,
sekarang sudah berkembang pesat berrkat didirikannya Pondok Pesantren dan TPA
di desa tersebut.
Kegiatan yang dilakukan
oleh para santri dari bangun tidur sampai tidur lagi sudah terjadwal. Keseharian
mereka sudah diatur dengan adanya bel yang mengaturnya. Dari pukul 03.30 bangun tidur dan langsung melaksanakan sholat tahajud
dan hajat. Setelah terdengar kumandang suara adzan mereka langsung bergegas ke
masjid untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Saat sholat subuh, santri putra
sholat di Masjid yang ada di desa, sedangkan untuk santri putri berjamaah di Masjid Pondok yang dipimpin oleh Ibu. Sekitar pukul 05.00 kegiatan
yang dilakukan adalah mengaji. Yang mana putra mengaji dengan Abah dan putri mengaji dengan Ibu yang
ditambah dengan santri putra yang akan hafalan Al-Qur’an.
Kemudian pukul 06.00-08.00
para santri bersiap-siap untuk sekolah (bagi yang bersekolah) dan ada yang
melaksanakan akitivitas piket pagi bagi yang mendapatkan jadwal. Piket ini
biasanya berupa piket untuk membersihkan jalan di depan area pondok, di dalam
area pondok, mushola, mushola asrama putri lantai atas, tempat wudhu, kamar mandi, membersihkan sampah, dan di ndalem
(rumah ibu). Pukul 08.00-11.00 santri putri memasak bersama di dapur yang
dibantu oleh salah satu warga Desa Teter, sedangkan untuk santri putra mendapat
bagian untuk memasak nasi. Meskipun yang terjadwal untuk masak hanya 2 santri,
tetapi mereka tetap melakukannya bersama-sama. Sarapan pagi
juga dilakukan pada selingan waktu saat mereka memasak.
Sebelum melaksanakan
sholat dzuhur, para santri putri membaca Al-Qur’an di mushola asrama di lantai
dua selagi menunggu ibu. Setelah menunaikan ibadah sholat dzuhur, mereka
melakukan deresan dengan ustadzah Win dan mengulangi
hafalan-hafalannnya. Sekitar pukul 13.00 mereka makan siang bersama. Biasanya
saat mereka makan, mereka akan bergerombol membentuk beberapa kelompok dengan
masing-masing 5 orang. Setiap kelompok disuguhi satu nampan penuh makanan dan
beberapa piring untuk lauk dan pauk. Setelah makan siang mereka melakukan
aktivitas masing-masing, ada yang beristirahat, mengaji, mencuci, dll.
Ketika adzan Ashar, santri
putri sudah berada di Mushola atas dan mereka melaksanakan sholat sunnah dan
membaca Al-Qur’an. Saat bel untuk sholat terdengar para santri
langsung bersiap untuk sholat dan kemudian Ibu datang untuk memimpin sholat. Seperti
biasanya, setelah sholat Ibu memimpin untuk berdzikir dan berdoa bersama kepada
Allah. Pukul 16.00 sholat Ashar berjamaah selesai ditunaikan. Kemudian bel
berbunyi lagi sekitar pukul 16.15 yang menandakan akan dilakukan kegiatan
selanjutnya, yaitu Diniyah. Diniyah ini terdiri dari tiga kelas yang dibagi
berdasarkan kitab dan jenjang masing-masing santri. Kitab-kitab yang digunakan di Pondok Pesantren Nurul Qur’an ini antara lain:
1. Wustho:
· Mustholah tajwid
· Washoya
· Jurumiyah
· Sorof (amtsilah tasrifiyah)
· Jawahirul kalamiyah
· Safinatun naja
2. SP :
· ‘aqidatul awwal
· Tarikh islami
· Alala
3. Ula:
· Tuhfathul athfal
· Mabadi fiqih
· Taisirul Kholaq
· Arbain nawawi
· Aqaid diniyah
4. Ulya:
· Fathul qarib
· Ta’lim muta’alim
· Tafsir jalalain
· Durrotun naslhin
· Bulugul marom
Diniyah ini kegiatannya seperti diskusi dan tanya-jawab antara ustadz dan para santri. Saat
penulis melakukan observasi, penulis mengamati pada kelas 3 Diniyah, yaitu kelas Ula. Materi yang disampaikan dari Ustadz
adalah “Teknologi dan Moral.” Jaman sekarang banyak orang termasuk santri
banyak yang moralnya merosot dikarenakan adanya teknologi. Contohnya saja dulu
para santri sangat sopan dan menghormati Kyainya, namun sekarang hal itu mulai
terkikis. Oleh sebab itu, bisa diperkirakan bahwa lima tahun mendatang
dipastikan moral semua orang akan
merosot dengan sangat drastis. Sehingga tugas kita nanti sebagai generasi penerus bangsa yaitu menjaga agar moral tidak merosot tetapi bisa menerapkan teknologi
kedalamnya.
Selain
itu, teknologi ini juga menjadikan perbedaan mencolok dari kehidupan jaman dulu dengan
jaman sekarang. Jaman dulu waktu sholat ditetapkan dengan cara melihat pohon
pisang, hubungan santri dan ulama dekat, santri selalu melakukan
kewajiban-kewajibannya, ilmu-ilmu keagamaan disebarkan kepada masyarakat oleh
walisongo dan ulama. Sedangkan jaman sekarang waktu sholat bisa dilihat
menggunakan jam, hubungan santri dan ulama semakin tidak dekat, santri hanya
meminta hak tetapi kewajibannya dilupakan. Parahnya lagi pada jaman sekarang
ini semakin ma’rifat para ulama, ilmunya hanya disimpan untuk dirinya sendiri
tidak dibagikan kepada masyarakat. Sehingga menyebabkan orang jaman now tidak
tahu tingkatan ma’rifat, tarekat, dan lain lain.
Tak
hanya membahas tentang teknologi, santri kelas Ula ini juga berdiskusi
tentang dasar negara yang dipakai oleh Indonesia. Mereka sepakat jika dasar negara Indonesia tidak bisa diganti menjadi dasar negara Islam. Hal ini
dikarenakan mereka sangat menghargai umat antaragama lain, dan juga dari dulu
Indonesia tidak disebut dengan DarusIslam tetapi Darussalam yang
mempunyai arti negara yang damai. Satu topik yang dibahas lagi dalam kelas ini
yaitu perbedaan orang munafik dan mukmin. Orang munafik ini ilmunya hanya ada
pada lisan dan mereka tidak bisa disebut sebagai teman ataupun musuh karena
bermuka dua, sedangkan orang mukmin ilmunya ada di dalam hati.
Sekitar
pukul 17.15 kegiatan Diniyah selesai, semua santri langsung bergegas ke makam mbahnya
Abah untuk berziarah. Makam ini jaraknya tidak jauh dari pondok pesantren,
mungkin hanya 20 meter dari pesantren. Seperti orang NU pada umumnya, mereka bergerombolan
melakukan tahlilan dan yasinan di makam ini. Ketika menjelang waktu sholat maghrib, mereka selesai berziarah dan langsung pulang ke pondok untuk beristirahat sejenak. Kemudian
beberapa santri yang terjadwalkan untuk piket menyapu area depan pondok dan jalan
raya.
Selagi
menunggu sholat maghrib, para santri makan malam bersama terlebih dahulu.
Seperti biasanya, mereka membentuk beberapa kelompok dengan satu nampan dan
beberapa piring lauk-pauk. Bel sholat maghrib berdering berbarengan dengan
lantunan indah suara adzan, para santri langsung mengambil air wudhu dan pergi
ke Masjid Pondok. Khusus untuk malam jum’at, sholat maghrib
dan isya santru putra dan putri bergabung menjadi satu.
Hari selain itu mereka sholat terpisah, putra sholat di Masjid Pondok, sedangkan putri di Mushola
asrama putri lantai atas. Sholat maghrib diimami oleh Abah. Setelah
sholat maghrib, Abah memimpin untuk membaca surat yasin, tahlil, berdzikir,
sholawatan dan membaca Al-Qur’an serta Abah memberikan
motivasi
kepada santrinya agar menjadi
orang sukses.
Untuk hari selain hari jum’at biasanya setelah sholat maghrib mereka hanya
yasinan dan bersholawat saja.
Aktivitas
selanjutnya adalah sholat isya yang kemudian diteruskan dengan sholawatan
dengan dan tanpa alat rebana. Sholawat yang dinyanyikan antara lain Ya Habibal
Qolbi, Asmaul Husna, dan masih banyak lagi. Sholawatan ini berlangsung selama
2,5 jam hingga pukul 9 malam. Saat mereka bersholawat, lampu di dalam masjid
pondok dimatikan, hal ini bertujuan agar para santri bisa khusyuk. Pukul
21.00 hingga 23.00 beberapa orang diantara mereka ada yang ditunjuk untuk
berpidato di depan santri-santri. Acara ini sangat mendidik para santrinya agar
bisa berani tampil di depan publik. Santri yang mendengarkan sangat menghargai
temannya yang sedang berpidato dan juga menolong temannya itu jika dia melakukan
kesalahan, dengan membuat candaan-candaan diantara mereka. Selain kegiatan
diatas, ada juga kegiatan Qiraah bersama ustadz Ridwan pada malam
minggu.
Pondok
pesantren Nurul Qur’an mempunyai 4 cabang di Kecamatan Simo, beberapa
diantaranya merupakan pendidikan formal. Pertama pondok pesantren yang ada di
Desa Teter , kedua di Desa Pelem, ketiga di Desa Bendungan, dan yang
terakhir di Desa Titang. Di Desa Bendungan digunakan sebagai markas pencak
silat Pagar Nusa, sedangkan Desa Titang didirikan sebuah TPQ yang digunakan
untuk mengaji anak-anak kecil. Berbeda dengan yang lainnya, cabang yang ada di Desa Pelem
tepatnya di Dusun Nayan dibangun pendidikan formal berupa RA/TK Nurul Qur’an,
SDIT Nurul Qur’an, dan MTs Unggulan Nurul Qur’an. Dan ditambah 1 cabang lagi
yaitu Madrasah Aliyah yang insya Allah bulan Maret ini akan minta ijin
kepada Kemenag.
Pendirian
pendidikan formal ini berawal dari TPA yang ada di Teter. Kemudian banyak yang
mengaji dan menitipkan anak-anaknya ikut mengaji disana. Tahun 2014 akhirnya
didirikan yayasan sebagai syarat membangun sekolah formal. Karena bangunan di
Teter yang tidak bisa mengampu semua santri pada satu tempat, akhirnya
didirikan RA dan SDIT di desa Pelem yang awalnya hanya terdapat 9 orang siswa. Pada tahun
kedua, masyarakat meminta untuk mempercepat pembangunan MTs. Halangan yang
dihadapi saat pembangunan sekolah-sekolah ini adalah ijin dari pemerintah.
Bahkan SDIT ini baru mendapatkan ijin resmi dari pemerintah bulan Desember
2017, sehingga selama 4 tahun terakhir pembiayaan untuk sekolah dilakukan
secara mandiri oleh pendiri sekolah. Berbeda dengan MTsnya yang harus
mendapatkan ijin dulu baru didirikan sebuah sekolah.
Jumlah
siswa MTs mencapai 126 siswa, SD dari 4 kelas sebanyak 75 siswa dan TK sebanyak
50 siswa. Di dalam kawasan RA, SDIT, dan MTs Nurul Qur’an ini terdapat asrama
pondok khusus untuk anak SD dan MTs. Yang mana asrama putra terletak di dekat
area RA dan SDIT, sedangkan asrama putri terletak di dekat area MTs. Khusus
untuk anak yatim mereka diberi santunan dengan cara dibebaskan dari biaya
apapun, sedangkan untuk yang lain hanya membayar SPP. Kegiatan yang ada masih
sama seperti pondok lainnya seperti mengaji, diniyah, sholawatan, dzikiran,
dll. Sebagai sekolah islam, kitab kuning dijadikan sebagai materi dalam proses
pembelajaran. Pembangunan sekolah-sekolah ini bisa diwujudkan berkat warga
masyarakat yang memberikan tanahnya untuk wakaf.
KISAH
PERJALANAN
Perjalanan
dari mondok ini berawal dari saya dan teman-teman mencari pondok pesantren.
Saya dan teman satu kelompok saya rata-rata berasal dari luar kota Boyolali dan
Klaten. Sehingga masalah awal yang saya hadapi yaitu kebingungan untuk mencari
pondok pesantren dan jalan untuk kesana. Kemudian saya mencoba untuk mencarinya
di internet dan menemukan beberapa pondok. Akhirnya saya bersama dengan teman satu
kelompok pergi ke Klaten untuk mencari pondok bersama-sama. Disana saya
mengunjungi dua pondok pesantren.
Pertama
adalah pondok pesantren yang bisa dibilang pondok yang sudah terkenal di Klaten.
Pondok itu terdapat SMPIT didalamnya. Disana saya ber-14 masuk ke dalam ruang
tamu dan langsung dipersilahkan duduk. Kemudian saya diminta untuk
menemui bagian Humas, karena pimpinan dari pondok pesantren sedang rapat. Oleh
karena itu hasil yang saya dapatkan adalah ketidakpastian, pasalnya saya
diminta untuk meninggalkan nomor handphone untuk diberikan kepastian.
Namun, hingga saat ini pun tidak ada pesan dari pondok pesantren itu.
Kedua
merupakan pondok pesantren yang tempatnya berada di sekitar SMA Muhammadiyah 1 Klaten. Saya langsung bertemu dengan dua orang santri yang baru pulang
sekolah di depan gerbang pondok, langsung diajak masuk. Adzan dzuhur pun mulai terdengar, setelah itu saya
mulai menunaikan ibadah sholat dzuhur di pendhopo depan pondok pesantren.
Setelah sholat saya disana hanya seperti orang hilang dan tak tahu arah. Hal
ini dikarenakan saya hanya menunggu berjam-jam untuk menunggu ustadzahnya
keluar dari pondok. Hingga jam menunjukan pukul 13.30 sang ustadzah baru
menemui saya dan beliau menyuruh saya untuk meminta ijin kepada ustadz yang ada
di pondok pesantren khusus putra.
Setelah
itu saya diantar oleh dua santri putri itu ke pondok pesantren putra dan segera
menemui ustadz. Alhamdulillah saya diberikan ijin untuk mengobservasi pondok
pesantren itu. Tetapi kelompok saya masih bingung, karena salah satu anggota kelompok
saya sangat takut dengan kucing. Sementara kucing ini sangat banyak di pondok
pesantren. Saya pun mulai berunding dengan kelompok akan masalah ini, karena saya
bisa merasakan bagaimana perasaan dari salah satu teman saya yang sangat takut
kucing ini. Setelah berpikir matang-matang, akhirnya kami membuat keputusan
bahwa pondok psantren ini dijadikan sebagai cadangan apabila kami tidak
menemukan pondok pesantren yang lain.
Beberapa
hari kemudian, kelompok saya mulai mencari pondok pesantren lain. Salah satu
teman sekelas saya memberikan informasi keberadaan pondok pesantren yang ada di
Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali. Sembari pulang ke rumahnya, ia mengantarkan
saya ke dua pondok pesantren yang ada di Simo. Pondok pesantren yang saya
kunjungi merupakan pondok pesantren dengan aliran LDII. Saat pertama masuk ke
dalam sana saya begitu canggung, karena amat sangat berbeda dengan mereka.
Kemudian saya langsung menemui salah satu ustadzah, karena beliau akan pulang
ke rumahnya, saya disuruh untuk menunggu di ruang tamu. Selagi menunggu
pimpinan pondok saya berbincang-bincang dengan ustadzah baru yang ada di sana.
Sepuluh
menit setelah itu, saya diantar untuk menemui perwakilan dari pimpinannya.
Beliau begitu tegas dan ekspresi wajahnya seperti orang yang sedang
menginterograsi saya. Begitu saya menyampaikan maksud dan tujuan saya, beliau
langsung menyudutkan saya. Beliau mengatakan bahwa, “kalian butuh dokumentasi
tidak? kalau iya, disini santriwatinya bukan menjadi bahan publikasi.
Santriwati disini mau memotret saja tidak boleh apalagi orang asing.” Saya pun
sudah berusaha untuk meyakinkan bahwa saya tidak melakukan dokumentasi jika
dijinkan untuk mengobservasi di sini. Namun, beliau tetap saja seperti mengusir
saya dengan isyarat kata-kata yang dilanturkan olehnya.
Saat
itu saya merasa sangat kecewa dan putus asa. Hati saya pun rasanya sangat
terpukul dengan kata “orang asing” tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan ke pondok pesantren selanjutnya, kira-kira waktu tempuh
dari pesantren ini hanya sepuluh menit. Setelah bertemu dengan santriwati yang
kebetulan berada di depan masjid, saya langsung dipersilahkan untuk masuk ke
dalam pondok pesantren dengan sopannya. Disana saya langsung disambut dengan
hangat oleh beberapa santriwati.
Setelah
berbincang-bincang beberapa menit, ketua pondok menemui saya dan mempertanyakan
kepentingan saya. Setelah menjelaskan kepadanya, saya langsung diajak untuk ke ndalem
rumah Abah dan Ibu selaku pengasuh dan pengajar utama pondok ini. Ketua
pondok langsung berdiskusi dengan Ibu di dalam, setelah selesai ia langsung
berbicara kepada saya, bahwa saya boleh melakukan observasi di pondok pesantren
jika mendapatkan ijin dari Abah. Namun Abah saat itu tidak ada di rumah,
sehingga saya hanya meninggalkan nomor kontak dan pulang karena hari sudah
sore.
Sehari
setelah itu, saya dikabari bahwa saya dibolehkan oleh Abah untuk melakukan
observasi disana. Saya merasa sangat senang, karena dari pertama melihat pondok
pesantren ini saya sudah merasa sangat nyaman. Apalagi santri-santrinya sangat
ramah dan mau menerima saya. Pondok Pesantren Nurul Qur’an inilah yang saya lakukan observasi dari
tanggal 15-16 Maret 2018. Usaha-usaha saya untuk mencari pondok pesantren ini
bisa membuahkan hasil dengan menemukan pondok pesantren di Desa Teter,
Kecamatan Simo ini.
Hari-H
untuk mondok di pesantren pun tiba, saya bersiap-siap dan segera berangkat
sekitar pukul 13.30. Saya berlima terlihat sangat kompak dan cerah karena
memakai almameter dari IAIN Surakarta. Empat puluh menit perjalanan yang saya
tempuh, setelah sampai saya langsung pergi ke ndalem ibu untuk ijin mau
menginap. Ketua pondok juga menyambut saya, namun mereka tampak kebingungan.
Alasannya karena mereka tidak tahu kalau saya mau menginap untuk malam ini.
Ternyata pesan dari saya yang melalui untuk ketua pondok belum terkirim, padahal pesan selanjutnya terkirim
semua. Kesalahpahaman inilah yang menimbulkan kebingungan diantara kami.
Saya
sangat bersyukur karena walaupun adanya kesalahan itu saya masih diijikan untuk
mengobservasi pondok pesantren disana selama sehari semalam. Setelah itu saya
melakukan observasi mulai dari kegiatan sebelum sholat Ashar. Lalu, aktivitas selanjutnya adalah Diniyah. Kami satu kelompok dibagi menjadi 3
kelompok sesuai dengan jumlah kelas yang ada. Saya dan Happyta mendapatkan
kelas Ula yang rata-rata merupakan anak-anak kelas 3 SMA. Saat saya datang
mereka sudah memulai kegiatan mereka, kemudian saya pun memperkenalkan
diri dihadapan santri-santri ini.
Kegiatan Diniyah ini sangat dominan dengan diskusi dan tanya-jawab sehingga
para santri disana begitu aktif. Kesempatan yang ada ini saya gunakan untuk
mempromosikan IAIN Surakarta bilamana diantara mereka ada yang mau berkuliah
disana. Sebelum pergi ziarah ke makam saya menyempatkan foto bersama dengan
para santri kelas Ula tersebut.
Kegiatan
sebelum dan setelah sholat maghrib dan isya seperti pada deskripsi diatas. Saat
makan malam bersama, kebersamaan yang ada benar benar hangat seperti dengan
keluarga sendiri. Namun nyali saya benar-benar diuji ketika saya disuruh Abah
untuk maju ke depan masjid di saat para santri sedang berkumpul untuk kegiatan
pidato. Saya diamanati oleh Abah untuk memotivasi mereka agar selalu tetap
bersekolah dan untuk bersemangat dalam menghadapi ujian tanggal 19-24 Maret
mendatang. Gugup dan grogi yang saya rasakan saat itu. Karena saya tidak
mempunyai persiapan apapun untuk ini dan tujuan kami disini bukan memotivasi
namun observasi. Tetapi hal itu seketika hilang saat para santri bisa memecahkan
suasana dengan candaan mereka.
Ketika
jam malam telah tiba banyak santri yang masih mengaji dan menghafalkan
Al-Qur’an. Kami satu kelompok juga berbincang-bincang tentang hari yang saya
jalani ini. Banyak kejadian lucu yang kami alami disini hingga membuat kami
tidak bisa menahan tawa. Kita juga menjadi makin dekat karena kami bisa berbagi
cerita masa lalu saya yang kebanyakan masa lalu lucu dan membuat tertawa saya
makin menjadi. Hal ini sangat berkesan dan saya merasa sangat beruntung menjadi
anggota kelompok ini, sebab dari hal ini bisa menjadikan kelas saya menjadi
kompak.
Aktivitas
pagi sudah saya jalani, kebanyakan santri berangkat sekolah. Kesibukan mereka
untuk bersekolah menjadikan saya tidak bisa berfoto bersama mereka. Akhirnya saya
pun berfoto dengan para santri yang tidak sekolah maupun kerja dan dengan Ibu
di depan pondok. Ibu benar-benar ramah kepada saya, beliau bahkan mengajak
semua santri yang masih di dalam asrama dan ndalem untuk ikut berfoto
bersama saya. Sekitar jam 11.00 saya berpamitan dengan Ibu dan para santri.
Sebelum pulang ke kos ataupun ke rumah masing-masing saya menyempatkan diri
untuk mengunjungi salah satu cabang dari pondok pesantren ini, yaitu RA/TK,
SDIT dan MTs yang berada di Desa Pelem. Untuk menambah pengetahuan untuk saya, saya
melakukan wawancara juga terhadap pimpinan pondok yang ada di sana –yang
merupakan menantu dari Abah. Observasi saya pun berakhir hingga jam menunjukan
pukul 13.30.
REFLEKSI
DENGAN MODEL STUDI ISLAM KLASIK
Studi Islam Klasik masih digunakan
di Pondok Pesantren Nurul Qur'an. Hal ini dikarenakan Pondok Pesantren ini
menggunakan kitab-kitab kuning yang digunakan sebagai basis atau dasar kajian
dan analisis, seperti Al-Qur'an, Hadis, Tafsir, Fikih, dan lain lain. Dalam
mempelajari kitab-kitab ini, terbentuk beberapa kelas yang pembagian kelasnya
berdasarkan kitab-kitab, jenjang dan tingkatan pembelajaran kitab tersebut.
Kegiatan yang diterapkan untuk mengkajinya adalah kelas Diniyah yang
diselenggarakan setiap hari setelah menunaikan ibadah sholat Ashar kurang lebih
selama 30 menit.
Aliran Nahdatul Ulama yang mereka
pakai membuat tradisi-tradisi NU masih sangat kental di dalam
pesantren ini. Kegiatan-kegiatan seperti tahlilan, yasinan, ziarah ke makam
masih dilakukan hingga sekarang. Tak hanya itu, di dinding pondok banyak
terdapat bacaan-bacaan orang NU dan tokoh-tokoh ulama, contohnya saja para walisongo.
Oleh karena itu, Pondok Pesantren Nurul Qur’an sangat mengunggulkan NU dan
senantiasa melestarikan tradisi-tradisi yang ada. Tak hanya mengunggulkan NUnya
saja, pondok pesantren ini juga mementingkan hafalan Al-Qur’an karena merupakan
pedoman, petunjuk dan rahmat bagi umat Islam.
REFLEKSI
SEBAGAI MAHASISWA TERKAIT KEHIDUPAN DI PESANTREN
Sebagai mahasiswa, penulis menilai
bahwa pondok pesantren merupakan salah satu sarana yang bisa mendekatkan seorang
umat islam kepada Allah Swt. Salah satu pondok pesantren yang ada, yaitu Pondok
Pesantren Nurul Qur’an. Santri-santri disini benar-benar membuat saya iri dan
kagum, karena mereka bisa menghafalkan Al-Qur’an berjuz-juz bahkan bisa
mencapai 30 juz. Mereka menghafalkan Al-Qur’an di waktu sebelum dan setelah
sholat dan saat tengah malam. Hal ini bisa jadi panutan untuk mahasiswa agar
selalu semangat untuk rajin dan disiplin dalam belajar, serta tidak mengeluh
jika mendapat banyak ujian.
Jaman sekarang ini juga kebanyakan
orang sikap sopan santunnya mulai menghilang, terkadang malah ada yang tidak
mengenalnya. Oleh karena itu sikap santri-santri ini yang sangat sopan dan
ramah, sangat dianjurkan untuk ditiru. Apalagi saya yang kuliah di jurusan
Perbankan Syariah, untuk bisa menjadi banker saya harus bisa ramah dan sopan
kepada nasabah nanti. Kehidupan yang dijalani oleh para santri sangat sederhana
dan mandiri, maka dari itu saya sebagai mahasiswa terinspirasi olehnya, karena
hal ini memberikan pelajaran kepada saya supaya tidak hedonisme, tidak
bergantung kepada orang lain serta tidak mementingkan keduniawian.
Pengalaman
saya selama mondok 1×24 jam ini, mengajarkan saya bahwa saya masih sangat
kurang dalam hal beribadah. Apalagi dalam hal menghafal Al-Qur’an, untuk
membaca Al-Qur’an saja masih belum fasih. Hal ini sangat memotivasi saya agar
senantiasa selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh sebab itu saya akan
belajar lebih dalam mengenai agama Islam mulai dari sekarang. Mulai dari
hal-hal kecil seperti sholat, mengaji, zakat, sedekah, dan lain lain.
Assalamualaikum kak.. mau nanya itu yang disuruh pidato itu santriwati juga?
BalasHapus